Godlob Kumpulan Cerita Pendek
Judul Cerpen : Godlob
Karya : Danarto
Penerbit : Grafitipers
Cerpen berjudul Godlob merupakan salah satu cerpen yang di muat dalam Kumpulan cerpen Godlob karya Danarto. Berikut adalah Kutipan Keseluruhan (Full) Cerita pendek yang berjudul Godlob, karya DANARTO
Gagak-gagak
hitam bertebahan dari angkasa, sebagai gumpalan-gumpalan batu yang dilemparkan,
kemudian mereka berpusar-pusar, tiap-tiap gerombolan membentuk lingkaran
sendiri-sendiri, besar dan kecilm tidak keruan sebagai benang kusut. Laksana setan
maut yang compang-camping mereka buas dan tidak mempunyai ukuran hingga mereka
loncat ke sana loncat kemari, terbang ke sana terbang kemari, dari bangkai atau
mayat yang satu ke gumpalan daging yang lain. Dan burung-burung ini jelas
kurang tekun dan tidak memiliki kesetiaan. Matahari sudah condong, bulat-bulat
tidak membara dan membakar padang gundul yang luas itu, yang diatasnya
berkaparan tubuh-tubuh yang gugur, prajurit-prajurit yang baik, yang sudah
mengorbankan satu-satunya milik yang tidak bisa dibeli: nyawa ! Ibarat sumber
yang mati mata airnya, hingga tamatlah segala kegiatan menangis karena habisnya
susu ibu.
http://remajasampit.blogspot.com/
Tiap mayat
berpuluh-puluh gagak yang berpesta pora bertengger-tengger di atasnya, hingga
padang gundul itu sudah merupakan gundukan-gundukan semak hitam yang
bergerak-gerak seolah-olah kumpulan kuman-kuman dalam luka yang mengerikan.
http://remajasampit.blogspot.com/
Suara-suaranya
bagai kaleng-kaleng yang ditendang-tendang di atas lantai ubin, merupakan
panduan suara lagu-lagu maut yang dahsyat, tak henti-hentinya memenuhi seluruh
padang bekas pertempuran itu, jalinan-jalinan nada yang kacau-balau seolah
setan-setan itu ketakutan oleh ancaman setan-setan lain atau sebuah persidangan
tempat terjadi perdebatan-perdebatan yang tak menentu, dengan hasil yang
gilang-gemilang, yaitu kemampuan memberikan rakyat berkaparan di tong-tong
sampah.
http://remajasampit.blogspot.com/
Senjata berserakan
di mana-mana. Beberapa senapan dengan sangkur terhunus, menancap disisi-sisi
mayat dengan topi bajanya terpasang diatas. Mungin seorang teman sempat berbuat
begini, sebelum ia sendiri ditolong oleh teman lainnya diberi tanda begitu.
http://remajasampit.blogspot.com/
Beberpa ekor
gagak bermain-main dengan granat dan beberpa ekor yang lain menyeret-nyeret
tali pinggang yang penuh peluru. Yang lain kelihatan hinggap diatas bren sambil
menggaruk-garuk tubuhnya dan merentang-rentangkan sayapnya.
Bau busuk,
anyir, menegang-negang seluruh bentangan padang gundul itu, hingga udara siang
hari ingar-bingar oleh daging-daging yang menguap dan malam hari terasa pengap,
seolah-olah mayat-mayat itu ada dalam kaleng.
Kalau angin
bertiup keras, maka bau itu terbang ke mana-mana jauh dan jauh sekali, seolah
kabar-kabar buruk yang diwartakan kepada tiap hidung, untuk dirasakan bersama
bahwa perang itu busuk. Tetapi prajurit adalah prajurit, ia tabah akan semua
perintah, walaupun bagaimana bentuk dan beratnya, dan perang itu pun berjalan
lancar dan memuaskan dengan hasil yang gilang-gemilang, yitu pembunuhan
berpuluh-puluh ribu manusia sebagai babatan alang-alang. Ya, manusia adalah
alang-alang.
http://remajasampit.blogspot.com/
Matahari makin
condong, bagai gumpalan emas raksasa yang bagus, membara menggantung di
awang-awang dan pelan-pelan mau menghilang di balik bukit sana.
Dari ujung
padang gundul itu, berderak-derak sebuah gerobak tanpa atap yang ditarik oleh
dua ekor kerbau. Kelihatan di dalamnya dua orang laki-laki. Seorang anak muda
terbaring parah di atas jerami. Yang seorang lagi tua, tetapi masih kelihatan
kuat. Gerobak itu bergerak lambat dan karena keadaan jalan yang tidak rata,
banyak lubang bekas meledaknya bom-bom atau peluru-peluru meriam hingga kedua
penumpang itu terangguk-angguk, bahkan kadang-kadang terbanting pada dinding
gerobak. Kerbau-kerbau itu berjalan gontai dan lemah, seolah-olah sudah segan
untuk menarik kedua pemumpangnya dan ingin berhenti saja. Tiap kali gerobak itu
melewati gerombolan gagak-gagak yang sedang pesta itu, gerombolan yang satu ke
gerombolan yang lain, hingga mengingatkan lalat-lalat yang diusir dari koreng
kerumunannya.
http://remajasampit.blogspot.com/
‘’Bangsat, kamu
sinting!’’ bentak orang tua itu sambil memukul beberapa ekor gagak ke sana
kemari yang tiba-tiba menyerang gerobak itu.
‘’Kau kira! Kau
kira!’’ ia memukul seekor yang hinggap di kepala anak muda yang berdarah itu. ‘’Kau
kira kami bangai-bangkai ?’’ tetapi pukulan meleset dan mengenai kaleng hingga
berderang terpelanting jauh dan burung itu terbang tertawa-tawa.
Ia meloncat
mengambil kaleng itu. Kemudian geronak itu dibiarkannya ja;an di muka, ia
terpukau berdiri. Pandangannya berkeliling. Raut mukanya menyeringai menatap
gerombolan gagak-gagak mengerumuni bangkai-bangkai itu. Puluhan, ratusan,
memenuhi padang itu. Kemudian ia lari dan tertawa-tawa, meloncat ke dalam
gerobak.
http://remajasampit.blogspot.com/
‘’Anakku.’’katanya
sambilmemapah anak muda itu.’’Kau lihat. Kau lihat. Baru sekarang aku takjub
atas pemandangan ini. Kau lihat.’’
‘’Ayah,
cukuplah,’’jawab anak muda itu sambil merebahkan sirinya siatas jerami
lagi.;;bukankah aku menarin-kemarin juga terbaring seperti mereka, sebelum Ayah
mendapatkan aku ?
‘’Yah, seperti
mereka, sebelum aku mendapatkan kau! Dan berhari-hari tangan-tanganmu yang
lemah itu menggapai-gapai untuk mengusir burung-burung yang menyerangmu. Dan hidupmu
yang mearisi hidung ibumu itu sudah cukup kebal untuk bau busuk bangkai
kawan-kawanmu atau musuh-musuhmu. Dan udara menghantarkan kuman-kuman untuk
mngunyah sedikit demi sedikit luka-lukamu yang parah itu.’’
‘’Ayah,
cukuplah,’’ keluh prajurit muda itu sambil membetulkan balutan luka-luka yang
kotor dan membusuk itu.
‘’Kau masih
ingat sajak ‘Sang Politikus’?’’tanya orang tua itu. Tapi karena kata-kata itu
seoalh-olah ditunjukan kepada dirinya sendiri, maka anak muda itu tidak
menjawab. Orang tu itu lalu berdiri, tangannya merentang dan memandang
sekeliling:
Oh, bunga
penyebar bangkai
Di sana, di
sana pahlawanku tumbuh mewangi
Ia berhenti
deklamasi, sejenak ia termangu, sedang tangannya masih tetap terentang, lalu
meledaklah tawanya dan bubarlah gerombolan gagak di kanan kirinya.
‘’Sajak itu
cukaup baik, cukup bermutu, bukan ?’’kata orang tua itu.’’Anakku, kau tahu
bedanya sajak yang dibuat oleh seorang politikus dan seorang penyair?’’
Orang tua itu
lalu memandang berkeliling lagi.
http://remajasampit.blogspot.com/
‘’Kalau ada
seorang yang menderita luka datamg kepada seorang politikus, maka dipukullah
luka itu, hingga orang yang punya luka itu akan berteriak kesakitan dari lari
tunggang langgang. Sedangkan kalau ia datang pada seorang penyair, luka itu
akan di elus-elusnya hingga ia merasa seolah-olah lukanya telah tiada. Sehingga
tidak seorangpun dari kedia macam orang itu berusaha mengobati dan menyembuhkan
luka itu. Bagaimana pendapatmu, Anakku?’’
‘’Ayah,
cukuplah,’’http://remajasampit.blogspot.com/
Dan gagak-gagak
itu bubar berkerumun kembali. Lalu ganti berganti: bau busuk-kerbau gontai, bau
busuk-sore redup, bau busuk-derap gerobak, bau busuk-kaok gagak.
‘’Malam datang,
Anakku. Sedang gagak-gagak itu masih belum juga kenyang.’’
Keadaan telah
gelap gulita, hanya sekali-kali jauh dsana melayang-layang pistol cahaya,
mencari-cari nyawanya yang masih hinggap di badan.
‘’kalau malam
gelap seperti ini, aku sangsi apa besok matahari sanggup menembusnya. Semuanya menyaksikan
saya. Siang berganti siang. Malam berganti malam. Tidak ada sesuatu yang baru
dalam hidup kita. Rutin, Rutin.
‘’Ayah,
cukuplah. Bagiku semuanya memastikan. Tidak ada yang menyangsikan walaupun
keadaanya rutin, rutin belaka. Semuanya kita sudah di atur. Tanpa kuminta dan
di luar pengetahuan saya, lahirlah saya dari rahim ibuku yang bersuamikan Ayah,’’ia
berhenti bicara karena napasnya tersengal-sengal. Dan roda-roda gerobak
berderak-derak, sedang dua ekor kerbau ogah-ogahan.
‘’Aku anak
bungsu. Kenapa aku tidak meminta sebagai anak sulung ? Aku kagum kepada
tentara. Aku ingin memasukinya. Aku dilarang. Perang pecah dan membawaku ke
sana. Sekarang aku luka parah, mungkin bisa hidup terus, mungkin sebentar nanti
mati. Tetapi kini aku bisa berkata bahwa tentara itu baik. Semacam manusia yang
percaya kepada manusia lain, sehingga kepasrahan ini mampu mendorng nya untuk
mengorbankan segala-galanya, harta bendanya, keluarganya, dan nyawanya.’’
http://remajasampit.blogspot.com/
‘’Ya manusia
yang mulia di mata Tuhan.’’kata orang tua itu.’’Ayah, kenapa aku tak memilih
lapangan yang lain ?Seandainya pilihanky itu sesuatu bencana bagiku, sang nasiblah
yang mengantarkan aku ke sana, jadi seharusnya manusia merasa senang juga.
‘’Apa yang ada
ini mempunyai pasangan-pasangan. Kalu sesuatu meleset dari pasangannya,
manusialah yang salah mengerjakannya. Satu senti meleset mengakibatkan
melesetnya seratus senti yang lain’’.
‘’Sebagaimana
perang ini terjadi, umpamanya, nukanlah baegitu, Anakku?’’tukas ayahnya.’’Ada
setetes yang tidak beres di kalangan atas, yang mengakibaykan puluhan, ratusan
,ribuan jiwa manusia hancur. Dan yang setetes itu harus diselidiki betul-betul.
Mungkin perkara sepuluh persen komisi atau membela celana kotor yang cengeng. Atau
tentang kebenaran bibir cewek.’’
‘’Ayah,
cukuplah,’’potong anak muda itu, sambil menggeliat dan mengaduh karena menahan
sakit.
‘’Mungkin. Seratus
satu kemungkinan. Tetapi sesuatu yang sudah menjadi bubur, tidak berguna disesali.
Yang terang, aku sudah bekerja sebaik-baiknya, O, Nasibku. . ..’’
‘’Nasibkulah,
Anakku! Nasibkulah yang menyebabkan aku berbicara, sehingga tidak cukup sekian
saja. Aku sudah menyerahkan empat nyawa anak-anakku kepada sang Politikus dan
tidak ada satupun yang kuterima. Sekarang ia merenggut anakku yang terakhir dan
nyawanya paling kusayangi, kau! Kau! Sesuatu yang bagaimanakah dan bentuk
kebenaran macam apakah menghallalkan itu semuanya? Anakku! Anakku! Tak bisa
kutanggungkan lagi . . ..’’
‘’Ayah,
cukuplah! Cukuplah!’’
http://remajasampit.blogspot.com/
‘’Belum cukup!
Aku harus memutuskan sesuatu yang hebat, biar aku tidak diragukan
habis-habisan! Lihatlah, Anakku! Lihatlah! Gelap gulita dan pekat. Saking gelapnya
hampir hampir aku tak bisa melihat tubuhku sendiri. Tidak ada setitik cahaya
pun. Florance Nightingale telah digondol gagak-gagak. Lembah kebenaran sudah
diganti padang kurus kesangsian. Kau lihat di sana, katedral telah disapu habis
rata dengan tanah dan sekarang ditumbuhi semak belukar. Kau lihat di sana
masjid digerayangi cacing-cacing dan ula-ulat. Kau ihat di sana,
perawan-perawan telah diseka di kamar-kamar. Kau lihat di sana, kuris-kursi
pemerintahan sudah digadaikan. Apakah yang bisa diharapkan lagi, Anakku?’’
‘’Ayah,
cukuplah. Seharusnya keluarga kita berbangga. Perang yang susul-menyusul, kita
telah mampu menyambungkan tangan kita.’’
‘’Berbangga?
Aku telah kenyang dengannya. Sekarang aku harus memutuskan sesuatu yang hebat,
biar aku tak dirugikan habis-habisan. Anakku, aku minta sumbanganmu?’’
‘’Lukamu cukup
parah, bukan ?’’
‘’Aku tidak
tahu . . ..’’http://remajasampit.blogspot.com/
‘’Tiap hari
banyak orang-orang berbondong-bondong di batas kota dari pagi ghingga petang
atau dari petang hingga pagi untuk menjemput, kalau-kalau suaminya, saudaranya,
anaknya, kawannya, pulang dari pertempuran. Betapa setianya mereka. O,
seandainya mereka tahu apa yang terjadi sesunggunya di padang gundul ini! Ibumu
akan menyambutmu, juga kawan-kawanmu, juga para tetangga. Engkau sejenak akan
dikagumi untuk kemudian dilupakan selama-lamanya.’’
‘’Ayah! Apakah
Ayah tidak bisa melihat hikmah yang terkandung dalam semua kejadian ini?’’
‘’Tidak! Aku tidak
melhatnya, sebab di situ memang tidak ada apa-apa!
Beberpa ekor
gagak menubruk-nubruk dinding gerobak. Sedang udara dingin mnusuk-nusuk malam
yang lengang itu.
‘’Supaya aku
tidak terlalu rugi. Supaya nasibku sedikit lebih baik, aku minta sumbanganmu.’’
‘’Apa maksud
Ayah sebenarnya?’’
‘’Anakku. Aku ingin
kau jadi pahlawan.’’
‘’Ayah???’’http://remajasampit.blogspot.com/
‘’Begitu bukan
sajak sang Politikus?
Oh, bunga
penyebar bangkai
Di sana, di
sana, pahlawanku tumbuh mewangi
Betapa lezatnya
sajak itu, Anakku. Apakah kau tidak bisa melihat kenikmatan pembunuhan dalam
sajak itu?’’http://remajasampit.blogspot.com/
‘’Ayah???”’http://remajasampit.blogspot.com/
Orang tua itu
bangkit dan seandainya ada cahaya yang menerangi wajahnya, akan tampak betapa
tegang urat-uratnya dan menyerengai merah. Lalu ia berkata keras-keras,
‘’Anakku,
maafkan ayahmu. Kau harus kubunuh!’’
‘’Ayah dengan
cara demikian ayah hendak menjadikan ku pahlawan? Ayah menghalallkank? Aku dan
Aya adalah dua manusia. Di mata Tuhan, kita masing-masing berdiri sendiri-sendiri.
Aku mempunyai Sang Nasib Pengasuhku sendiri! Ayah di atur oleh yang lain!
‘’Anakku, kali
ini pengasuhmu menyerahkanmu kepadaku!’’
‘’Tidak! Tidak mungkin!
Pengasuhku bekerja konstruktif!’’
‘’Ayah!!!’’http://remajasampit.blogspot.com/
‘’Anakku!!!’’
‘’Ayah . . ..’’http://remajasampit.blogspot.com/
‘’Anakku . . ..’’
************
Sehari sehabis
pengangkatan prajurit muda itu sebagai pahlawan oleh para pembesar di balai
kota, maka pagi harinya iring-iring jenazah yang panjang itu menuju makam
pahlawan dengan kemegahan upacara militer. Banyak pengiring yang menangis. Anak
semuda dia dengan keyakinanya, terlalu sayang untuk pergi.
Suasana siang
terasa sepi. Pintu-pintu rumah tertutup rapat. Anak-anak tidak bermain-main di
halaman seperti biasanya. Angin bertiup keras, hingga keadaan jalan yang panas
kemarau itu penuh bertebaran debu-debu.
http://remajasampit.blogspot.com/
Hari berikutnya,
sehabis penguburan, matahri mencambuk-cambuk kulit, ketika tiba-tiba jalan di
depan balai kota di gemparkan oleh seorang perempuan membopong mayat.
Orang berduyun-duyun
menuju kepadanya, hingga suasana hiuk-pikuk. Masing-masing menanya apa yang
terjadi:
Siapakah wanita
aneh itu ? tidak jijikkah ia? Aduh, seorang perempuan yang berani. Benar? Mayat
pahlawan kemarin? Digali lagikah ia? Ya, Tuhan, oleh tangan ibunya sendiri. Jadi,
yang membopong itu ibunya? Aduhai, satu paduan yang bagus: Ibu Pertiwi membopong
Pahlawanya. Bukan begitu> kenapa tidak demikian? Tmpaknya suatu pemandangan
yang mengerikan.
Mau dia apakan?
Ada sesuatu yang salah? Bagaimana mungkin?
Kemudian para
pembesar pada keluar dari balai kota dan turun mendapatkan orang-orang. Dalam sekejap,
orang-orang yang berkerumun itu sudah sama banyaknya dengan rombongan pengantar
jenazah kemarin. Lau di antara orang-orang yang mengelilingi permepuan dengan
mayat itu, tersembullah seorang tua yang serta-merta berhadapan dengan
peristiwa itu.
‘’Ini daia
orangnya! Ia adalah suamiku, namun sejak kugali mayat anakku ini, ia telah
kuceraiakn. Semalam ia telah bercerita panjang lebar tentang garis depan. Akhirnya
ia pulang membawa tiupan-tiupan buat kita. Mayat ini sama sekali bukan
pahlawan. Dan seandainya ia sanggup banhun, ia akan berkata kepada kita bahwa
ia tdak ingin jadi pahlawan, aku tahu tabiat anak-anakku. Daialah! Orang laki-laki
ini yang membikinnya jadi pahlawan! Dia membunuhnya! Dia menipu kita!’’
http://remajasampit.blogspot.com/
‘’Sebaiknya,
aku kena tipu oleh mereka!’’ Tangis laki-laki itu sambil menunjuk dengan
garangnya kepada para pemvesar. Yang ditunjuk melongo dan menarik dadanya
undur.
‘’Kita semuanya
kena tipu mentah-mentah. Lihatlah aku! Keluargaku ludes! Tidak ada satu pun
yang kudapat!’’
‘’Penghianat!’’
teriak para pembesar bersama-sama
‘’Menurut hukum
yang bagaimanakah seorang berhak menyebut orang lain penghianat atau pahlawan? Kemarin
kubawa mayat anakku, anak yang penghabisan dari empat orang lainnya yang sudah
hancur duluan. Perang demi perang telah memeluk anak-anakku dengan mesranya. Dalam
sekejap mata mayat ini diangkat jadi phlawan. Aku sudah mengira, aku sudah
menduga. Sementara kalian dengan berkaleng-kaleng air mata mengantarkan ke
kuburan, aku dengan tertawa terpingkal-pigkal!’’
‘’Dengan
berpijak pada nilai-nilai objektif, akan ada tipuan-tipuan,’’ kata para
pembesar bersama-sama.
‘’Adakah
nilai-nilai Objektif? Semuanya adalah Subjektif!’’
‘’Apa yang kau
harapkan sekarang?’’ kata para pembesar bersama-sama.
‘’Apa yang bisa
kau harapkan dari kalian?’’
Lalu laki-laki
itu mamandang sekeliling, menatapi wajah demi wajah:
‘’Kalian
orang-orang kecil, sekali-kali boleh pergi ke garis depan. Hingga kita bisa
juga berbicara tentang negara, tentang perang, tentang ekonomi, tentang sajak,
tentang kebun binatang, tentang perempuan. Sudah diborongnya semua. Lanyas kiya
sidiuruh bicara tentang apa?
‘’Oh, perutku
terasa muak! Mual! Hingga mau muntah saja!’’
Tiba-tiba
perempuan itu mencabut pistol dari pinggangnya dan sejenak menggelegar bunyinya
memenuhi sudut-sudut kota dan sejenak laki-laki tua yang ada di hadapannya itu.
Perlahan perempuan itu berjongkok di depannya. Ait matanya meleleh.
Suaminya menggeliat
menoleh kepadanya:
‘’Perang demi
perang berlalu, iseng demi iseng berpadu.’’
Kemudian ia
meraih mayat anaknya dan jatuh.
Suasana hening.
Sekaliannya dipaku di tempat berdirinya masing-masing.
Perempuan itu
berdiri. Dengan wajah termangu ia memandang ke atas:
‘’Oh, nasibku,
nasibku. Sedang kepada setan pun tak kuharapkan nasib yang demikian.’’
http://remajasampit.blogspot.com/
Leles, Garut,
13 Agustus 1967
Terima kasih sobat sudah berkunjung dan membaca cerpen Godlob Kumpulan Cerita Pendek, semoga bermanfaat buat sobat semua. Cerpen Godlob, Karya Danarto
gimana mimik wajah seorang penduduk itu all.
ReplyDeletethanks. o yeach bisa sharing naskah cerpen Danarto yang kecubung pengasihan? sudah searching kok ndak nemu ^_^. mkasih
ReplyDelete